Senin, 08 Desember 2008

Tuhanku ya terserah aku

 "Meskipun diakui hukum, tetapi agama Buddha tidak mengakui KeTuhanan yg
> Maha Esa??

> Terus krn tidak mengenal konsep "God", berarti Buddhist = atheist?? dan
> menurut hukumindonesia maka umat budha harus di tindak pidana karena

> tidak bertuhan."

Pertama, lihat dulu kenapa sampe ada Undang-Undang anti Ateis? Karena trauma akan komunis.

http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia

Perubahan penting terhadap agama-agama juga terjadi sepanjang era Orde Baru. [12] Antara tahun 1964 dan 1965, ketegangan antara PKI dan pemerintah Indonesia, bersama dengan beberapa organisasi, mengakibatkan terjadinya konflik dan pembunuhan terburuk di abad ke-20. [13] Atas dasar peristiwa itu, pemerintahan Orde Baru mencoba untuk menindak para pendukung PKI, dengan menerapkan suatu kebijakan yang mengharuskan semua untuk memilih suatu agama, karena kebanyakan pendukung PKI adalah ateis.[12] Sebagai hasilnya, tiap-tiap warganegara Indonesia diharuskan untuk membawa kartu identitas pribadi yang menandakan agama mereka. Kebijakan ini mengakibatkan suatu perpindahan agama secara massal, dengan sebagian besar berpindah agama ke Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Karena Konghucu bukanlah salah satu dari status pengenal agama, banyak orang Tionghoa juga berpindah ke Kristen atau Buddha. [12]

Secara formal negara Indonesia hanya mengakui 6 agama yaitu: Islam, Kristen, Katholik, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Pengakuan ini diberikan melalui UU No 1/PNPS Tahun 1965.

Tahun 60an-70an Agama Buddha dipertanyakan Ke-Tuhan-an-nya. Ada ga sih? Dan kalau ada Dia ngapain dan dipanggil Siapa? Karena Definisi Agama di Indonesia adalah ada Tuhan, Nabi/Rasul/Kitab, upacara keagamaan. (Yang jelas-jelas ngambil dari konsep Islam. Jesus itu dianggap Tuhan bukan Nabi, Hindu ga punya Nabi.) Untungnya Agama Buddha masih bisa selamat. Nabi = Buddha, Kitab = Tripitaka (yg versi mana aja ok), Upacara banyak. Tuhan? 

Mungkin ada mungkin tidak ada dalam agama Buddha. Karena jarang disebut. Tidak disangkal, tidak disetujui, kadang disinggung topiknya sedikit, tapi ga pernah dijelaskan tuntas. Tergantung alirannya juga. Theravada ga pernah bahas. Mahayana bahas tapi tidak jelas. Vajrayana bahas secara dalam, tapi maaf, ajaran itu agak rahasia.

Tapi zaman dahulu kala ketika Borobudur dibangun, yang dianut di Indonesia adalah agama Buddha, aliran Vajrayana. Dan masih terselamatkan dong kitab suci asli bikinan kita sendiri, ditulis dalam bahasa kawi/ jawa kuno, berjudul Sanghyang Kamahayanikan. Disitu tertulis bahwa ada "sesuatu yang mutlak... dst" dan punya banyak nama. Kita ambil satu nama dan dijadikan nama resmi untuk memanggil Tuhan Yang Maha Esa untuk umat Buddha.

Jadi, ya agama Buddha di Indonesia ber-Tuhan. Ada di kitabnya. Diakui Hukum Indonesia. Tapi beda dengan konsep Tuhan agama lain. Kok beda? Ya terserah kita dong, wong agama kita. 

Kalaupun masih bersikeras bahwa agama Buddha ga ber-Tuhan, so what? Yang salah malah peraturan hukum anti-ateis itu. Yang salah pemerintah terlalu ikut campur urusan beragama. ga percaya? Baca artikel di bawah: 



 
Pluralisme dan Kerukunan Hidup Beragama 
Oleh John A Titaley

ADALAH merupakan sesuatu yang wajar bila terdapat perbedaan di antara manusia, bahkan di antara anak kembar sekalipun. Patutlah disadari bahwa penyebab dasar yang membedakan di antara anak kembar adalah faktor bawaan genetiknya. Gen yang dimiliki setiap manusia adalah sesuatu yang kodrati, bawaan yang tak bisa ditolak. Ketika seseorang lahir, bawaan gennya sudah begitu. Hanya robot atau mesin saja yang sama spesifikasinya karena dibuat manusia. 

Bawaan genetik manusia tidaklah dapat ditentukan menurut kemauan seseorang, sekalipun belakangan ini orang sudah bisa melakukan rekayasa genetika manusia. Adanya perbedaan ba-waan gen manusia itulah yang me-nyebabkan sifat, karakter dan do-rongan seorang manusia tidak sama dengan manusia lainnya. Oleh sebab itu, perbedaan di antara ma-nusia adalah sesuatu yang kodrati adanya. Menolak perbedaan adalah mengingkari kodrat manusia. 

Demikianlah halnya pluralisme. Yang dimaksud dengan pluralisme adalah kenyataan bahwa dalam suatu kehidupan bersama manusia terdapat keragaman suku, ras, budaya dan agama. Keragaman agama itu terjadi juga karena adanya faktor lingkungan tempat manusia itu hidup yang juga tidak sama. Lingkungan hidup empat musim bagi seseorang akan membuat orang tersebut memiliki karakter dan pembawaan yang berbeda dengan orang yang hidup dalam lingkungan yang hanya terdiri dari dua musim, seperti musim hujan dan musim panas.

Agama bukan saja suatu lembaga yang berhubungan dengan Yang Mutlak saja, tetapi juga adalah lembaga sosial. Dia adalah bagian dari kebudayaan karena dia dihidupi dalam kehidupan manusia sehari-hari, sama seperti kehidupan lainnya. Karenanya, sebagai suatu institusi sosial, agama itu juga adalah bagian dari satu sistem kebudayaan. Jadi kalau kebudayaan manusia itu beragam, maka dapat dipahami pula kalau agama itu pun juga beragam. Mengapa agama itu juga bagian dari kebudayaan? Karena manusia tidaklah dapat hidup di luar kebudayaannya. 

Memang yang Mutlak itu kekal adanya. Dia universal, dalam pengertian berada bagi manusia dan alam. Dia sesuatu yang sudah jadi, mutlak dan kekal, melampaui batas-batas kemanusiaan dan kebudayaannya. Ketika Yang Mutlak, yang universal itu berhubungan dengan manusia, bagaimanakah manusia menanggapi hubungan Yang Mutlak tersebut? Sudahlah pasti bahwa manusia akan menanggapi hubungan itu dengan keterbatasan simbol-simbol budayanya. Salah satu simbol tersebut adalah bahasa. Supaya suatu hubungan (komunikasi) bisa terjadi haruslah ada kesamaan bahasa. Entah Yang Mutlak yang menggunakan bahasa manusia itu, atau manusia yang harus menyesuaikan dirinya untuk memahami bahasa Yang Mutlak itu. 

Kalau terakhir yang terjadi, maka sudahlah pasti manusia tidak akan dapat memahami kehendak Yang Mutlak itu secara sempurna. Selalu saja terjadi reduksi (pengurangan) dalam upaya manusia memahami Yang Mutlak itu. Reduksi terjadi karena dalam memahami kehendak Yang Mutlak itu, manusia melakukannya dengan bahasa dan simbol-simbol budayanya sendiri, bukanlah simbol dan bahasa Yang Mutlak. 

Itulah keterbatasan manusia di hadapan Yang Mutlak itu. Dalam keadaan seperti itu, maka tidak seorang manusia pun yang dapat mengklaim bahwa dia dapat memahami kehendak Yang Mutlak itu secara sempurna. Pastilah terjadi penyaringan-penyaringan (reduksi) dalam komunikasi tersebut. Reduksi itu adalah wajar saja. 

Lalu, kalau Yang Mutlak itu atas kehendak bebasnya sendiri juga berkomunikasi dengan manusia-manusia lainnya di berbagai belahan bumi ini dan ditanggapi oleh manusia-manusia tersebut dengan cara yang sama, sehingga terbentuk berbagai macam agama sebagai upaya untuk hidup menurut kehendak Yang Mutlak itu, bisakah satu agama menyatakan dirinya sendiri sendiri sebagai satu-satunya agama yang paling benar? Kalau klaim seperti itu yang terjadi, maka sudahlah pasti itu adalah klaim-klaim manusia, bukan klaim Yang Mutlak. Menyatakan dirinya sendiri yang paling benar dan paling murni adalah sifat manusia. Yang mutlak tidak butuh klaim seperti itu. Jadi, pluralisme agama adalah sesuatu yang sangat wajar.

Kalau dalam komunikasi itu Yang Mutlak menggunakan ''bahasa dan budaya'' manusia tertentu supaya bisa dimengerti seluruhnya dengan baik, pertanyaan yang patut dikemukakan adalah bisakah seorang manusia merekam proses komunikasi itu dalam ingatannya ibarat video-camera dan kemudian menuturkan ulang proses komunikasi itu secara sempurna tanpa reduksi seperti halnya video itu diputar ulang? 

Lalu, kalau Yang Mutlak itu boleh berkomunikasi dengan cara itu bagi seseorang dalam suatu budaya tertentu, apakah Yang Mutlak itu tidak dibolehkan berkomunikasi dengan cara seperti itu bagi manusia lain di tempat lain, pada waktu yang lain dengan menggunakan bahasa yang lain pula? 

Apakah benar bahwa Yang Mutlak itu hanya ingin berkomunikasi dengan manusia dari bangsa tertentu dan tidak ingin atau tidak boleh mengkomunikasikan kehendakNya kepada manusia dan bangsa yang lain? Sudahlah pasti yang biasanya suka mengklaim seperti itu adalah manusia juga dan itu adalah juga sifat manusia. Karenanya, pluralisme adalah sesuatu yang manusiawi adanya.

Kriteria

Pluralisme seperti ini berarti pula bahwa manusia pemeluk suatu agama tertentu yang lahir ribuan tahun yang lalu, harus bisa menerima lahirnya atau bermunculannya suatu agama baru pada masa kini atau masa depan. Karena Yang Mutlak itu memiliki kehendak bebas, dan manusia juga mengalami perkembangan kebudayaan dalam kehidupannya, maka selalu saja bisa terbentuk agama yang baru di mana-mana dan di masa depan. Ini juga sesuatu yang kodrati adanya. Membatasi kehadiran agama-agama lain dari masa lalu dan di masa depan, sudah tentu bukanlah kehendak Yang Mutlak. Itu adalah kecenderungan manusia yang selalu ingin menang sendiri.

Dalam kerangka pemikiran seperti inilah, maka pluralisme agama harus diterima. Masalahnya, apakah di Indonesia hal itu sudah terjadi? Ketika bangsa ini menerima hanya lima dan kemudian menjadi enam agama resmi, dan celakanya kelima-keenam agama itu bukanlah agama-agama yang lahir dari pangkuan budaya bangsa Indonesia sendiri, apakah bangsa ini sudah berbuat adil kepada dirinya sendiri? Tidakkah dengan mengingkari hak hidup agama-agama lain di luar lima-enam agama itu, bangsa ini telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang serius, yaitu hak untuk beragama? Jadi ketidakadilan dalam kehidupan beragama juga sedang dipraktikkan bangsa ini, tanpa harus menunjuk ketidakadilan bangsa lain.

Pengakuan terhadap kelima-enam agama itu juga sesuatu yang patut dipersoalkan. Kriteria apakah yang digunakan? Dalam suatu diskusi di Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama RI, disebutkan bahwa dasar yang digunakan pada waktu lampau adalah ''agama yang banyak di anut bangsa ini''. Lalu kalau ada kriteria agama yang banyak dianut, bagaimana dengan agama yang penganutnya tidak banyak? 

Kalau ditinjau sedikit lebih jauh agama-agama seperti apa yang dimaksud dengan yang penganutnya tidak banyak itu? Kalau dicari dalam perbendaharaan agama-agama di Indonesia, maka sudah tentu akan ditemui agama-agama seperti Perbegu di Sumatera Utara, Kaharingan di Kalimantan, Marapu di pulau Sumba, Kejawen di pulau Jawa, Aluk Tadolo di Tana Toraja, dan sebagainya. 

Agama-agama itu, meski jumlah penganutnya sedikit, tidaklah berarti bahwa eksistensinya diingkari. Kriteria seperti itu seharusya tidak boleh dijadikan alasan penolakan pengakuan eksistensi suatu agama. Kalau hendak ditolak eksistensi suatu agama, maka harus ada dasarnya. Dasarnya itu tidaklah lain dari pada definisi agama itu sendiri.

Meminjam cara perumusan mudah Swidler dan Mojzes, suatu agama harus memiliki empat struktur yang diringkas dengan empat C. Pertama adalah adanya pengakuan (creed) tentang sesuatu yang mutlak benar bagi kehidupan manusia. Kedua adalah kode (code) tindakan (etika) yang timbul sebagai buah dari kepercayaan itu. Ketiga adalah kultus (cult) sebagai upaya manusia untuk menyelaraskan dirinya dengan yang dipercayainya itu. Terakhir adalah umat (community) yang bersama-sama memiliki kepercayaan yang sama. Ketika empat struktur ini ada dalam suatu lembaga sosial, maka lembaga sosial itu adalah agama. 

Orang selalu menghubungkan agama dengan isi kepercayaan (creed), terutama kalau itu berhubungan dengan Yang Mutlak yang disebut Tuhan, Dewa, dengan berbagai nama yang diberi manusia kepadaNya. 

Di kalangan bangsa Yahudi, Yang Mutlak itu disebut Yahweh, di tanah Arab: Allah SWT, di kalangan Kekristenan: Tritunggal, di India: Krisna, di Bali: Sang Hyang Widi Wasa, di Toraja: Puang Matua, dan sebagainya.

Kalau itu yang terjadi, bagaimana dengan agama Buddha yang tidak memiliki unsur kepercayaan terhadap Yang Mutlak itu?

Itulah sebabnya, definisi seperti di atas menolong, karena dia tidak perlu merepotkan isi kepercayaan. Kalau isi kepercayaan harus diperhitungkan, maka akan terjadi dua macam agama. Agama yang theistik, yaitu agama yang memiliki isi kepercayaan terhadap Yang Mutlak itu dalam bentuk ilah (theos: Bahasa Yunani) dan agama non-theistik, yaitu agama yang isi kepercayaan terhadap yang mutlak itu bukan dalam bentuk ilah, akan tetapi gagasan misalnya. Kalau ini bisa diterima, maka agama Buddha adalah agama non-theistik. 

Akibat dari definisi seperti ini, lalu akan muncul banyak sekali agama, karena hampir setiap suku di Tanah Air ini, memiliki agamanya masing-masing. Ya, mereka harus diakui sebagai agama dan masuk dalam kategori agama yang penganutnya sedikit. 

Kalau sudah ada pengakuan terhadap keragaman agama seperti ini, bagaiman mengatur supaya mereka bisa hidup rukun? Aturlah mereka seperti halnya mengatur kehidupan warga negara biasa saja. Tidak perlu diatur lewat suatu departemen agama seperti yang ada sekarang ini. Pengaturan seperti sekarang ini hanya mempertontonkan kepada dunia bahwa negara ini sedang mempraktikkan diskriminasi struktural dan pelanggaran hak asasi manusia secara transparan. 

Jaminlah hak mereka untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya, dan aturlah mereka dengan hukum nasional apabila terjadi pelanggaran dalam kehidupan beragama itu, tanpa harus merumuskan undang-undang yang secara khusus mengatur agama. Terlalu banyak nanti yang harus diatur. (24)

-John A Titaley, guru besar ilmu teologi pada PPs Sosiologi Agama UKSW dan guru besar luar biasa pada CRCS UGM. http://www.suaramerdeka.com/harian/0512/09/opi4.htm

Tidak ada komentar: