Senin, 08 Desember 2008

Penganut Buddhisme tidak menyembah berhala!

Berikut ini argumen2 untuk menjelaskan bahwa Buddhist tidak menyembah
patung batu dan kayu.

Penyembah berhala, apakah tolok ukurnya?

Ketika saya bertemu dengan doktor pribadi saya, beliau bertanya
tentang kegiatan religius saya. Dan ketika beliau telah mengetahui
merek religius saya, ia menanggapi bahwa saya adalah pemuja batu dan
saya disarankan untuk memiliki pegangan hidup agar di hari kiamat
yang telah dekat, saya dapat tertolong sehingga dapat terlahir di
surga abadi.
Lalu saya bertanya mengapa saya disebut pemuja batu? Jawabnya, saya
menyembah patung, pemuja berhala. Ketika saya bertanya balik, apakah
benar saya menyembah patung, beliau mengatakan ya, karena menurutnya,
saya menghormat dan memohon-mohon rejeki, keselamatan, nama baik,
keberhasilan dan sebagainya kepada patung yang terbuat dari batu dan
tak ada bedanya dengan animisme, penyembah batu, religius berhala.
Kemudian saya berkata: "Pernyataan dokter seolah-olah menunjukkan
bahwa perihal pikiran saya, sepertinya dokter lebih tahu dari pikiran
saya sendiri, darimanakah dokter mengetahui bahwa saya menghormat dan
memohon¬mohon kepada patung, apakah dokter dapat membaca pikiran
saya, tolong dokter memberikan petunjuk bagi saya."
Maka iapun menjawab bahwa kebanyakan, orang yang bertingkah laku di
depan patung adalah demikian, sehingga diambil kesimpulan bahwa itu
menyembah dan memohon kepada patung.
Kemudian saya mengutarakan kenyataan yang umum terjadi di
masyarakat: "Ketika rakyat suatu negara mengangkat tangan di atas
kening sambil menghadap tegap ke arah Bendera Nasional Negara itu
pada kesempatan suatu upacara, apakah makna tingkah laku orang-orang
itu, apakah mereka menyembah atau meminta-minta sesuatu kepada
bendera itu?"
Dokter saya menjawab, bahwa menghadapi Bendera Nasional, mereka tidak
menyembah atau meminta-minta sesuatu namun saat itu mereka mengenang
perbuatan / kualitas jasa para pahlawan sehingga secara alamiah
mereka tergugah batinnya untuk mencontoh perbuatan patriot para
pahlawannya."
Kemudian saya lanjutkan: "Mungkinkah penganut religius yang dokter
sebut sebagai penyembah patung/berhala ta di, ketika berlutut di
bawah atau di hadapan patung itu, pikirannya diliputi oleh sifat-
sifat baik yang mencontoh orang yang dilambangkan dengan patung tadi,
atau mengenang kualitas-kualitas batin yang baik dari orang yang
dilambangkan dalam bentuk patung tersebut, seperti halnya rakyat yang
sedang mengenang jasa para pahlawannya?"
Beliau menjawab bahwa hal itu sangat mungkin. Lantas saya kembali
bertanya:"Apabila sangat mungkin, maka orang-orang yang melakukan
dengan pikiran baik tersebut apakah masih layak disebut sebagai
penyembah patung/berhala, dan jika saya melakukan seperti itu, apakah
tepat pernyataan dokter pertama tadi bahwa saya adalah penyembah
berhala?"
Tentu saja tidak, jawab dokter itu. Saya melanjutkan: "Mengapa
tidak?" Karena penyembah berhala artinya menyembah dan meminta-minta
sesuatu (rejeki, keselamatan, dan sebagainya) kepada sesuatu yang
tidak diketahuinya, demikian jawab dokter tersebut.
Mendapat jawaban seperti itu, saya berkata dan bertanya kepada
beliau: "Maaf dokter, saya gembira sekali karena dokter berbicara
sangat terbuka, oleh karena itu ijinkanlah saya bertanya secara
terbuka dan jangan terlalu dipikirkan apabila pertanyaan saya ini
tidak tepat; bagaimanakah dengan dokter, apakah dokter dalam
mempraktikkan kepercayaan religius yang dokter anut, acap kali
meminta atau memohon sesuatu (keselamatan, rejeki dsb) kepada sesuatu
yang sesungguhnya dokter tidak/belum pahami/ketahui (tanpa atau
dengan media tertentu seperti patung atau hal lainnya)?"
Beliau terdiam sejenak, kemudian menanggapi:"Selama ini saya telah
salah pandangan tentang kepercayaan religius yang kamu pahami,
maafkan saya! Sesungguhnya selama ini, saya lebih berhala
dibandingkan kamu, karena saya sering kali meminta atau memohon
sesuatu (rejeki, kesehatan, keselamatan dan sebagainya) kepada
sesuatu yang memang saya belum/tidak pahami/ketahui. Maafkan saya,
selama ini saya telah salah menilai kepercayaan religius yang kamu
pahami hanya dari penampakan luar. Ternyata sisi batin si pelaku
sangat menentukan kualitas perbuatannya. Terus terang, saya merasa
syukur atas keteranganmu karena untuk selanjutnya saya tidak akan
salah menilai seperti itu lagi.
Demikianlah dialog antara dokter pribadi saya dan saya, yang terjadi
secara spontan dan terbuka. Memang, saya dan teman-teman memiliki
ruang yang terdapat patung seorang guru besar yang bernama Gotama.
Memuja patung bukanlah ajaran religius kami, namun, memang kebanyakan

para penganut religius kami, tidak mengerti dengan benar ajaran
religiusnya (tidak mau tahu atau karena ajaran tersebut memerlukan
kemampuan logika pada taraf tertentu), sehingga mereka terjebak ke
dalam praktik keliru sebagai pemuja berhala.
Bagi kami, patung guru besar kami yang bernama Gotama hanya sebagai
alat bantu bagi para pemula (bagi yang telah pandai sama sekali tidak
memerlukan alat bantu seperti itu) untuk membangkitkan sikap batinnya
sepert yang dimiliki oleh guru besar Gotama, yaitu:
1. Murah-hati (dermawan)
2. Bermoral (tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berzinah,
tidak berdusta, tidak memakan atau meminum makanan atau minuman yang
melemahkan kewaspadaan)
3. Tidak terikat/tidak melekat
4. Bijaksana dalam bertindak, berbicara dan berpikir
5. Bersemangat
6. Sabar
7. Selalu berpikir, berbicara dan bertindak jujur dan benar
8. Memiliki tekad yang kuat
9. Memiliki cinta kasih terhadap semua mahluk (tidak pandang
bangsa, ras, agama, golongan, sekte, mahluk, dsb)
10. Sikap seimbang menghadapi suka dan duka (tidak larut dalam
suka maupun duka)
Patung bukanlah kriteria ajaran kami. Ada atau tidak ada patung tidak
menjadi masalah. Guru besar kami sama sekali tidak mengajarkan
pemujaan patung guna menuju kebahagiaan sejati. Tindakan melalui
pikiran, ucapan dan jasmani yang senantiasa terkendali serta jauh
dari keserakahan, kebencian dan kebodohan batin merupakan syarat
mutlak untuk merealisasi kebahagiaan sejati. Setiap mahluk
mengharapkan kebahagiaan, namun kebahagiaan tidak dapat muncul karena
berdoa, meminta-minta.
Kebahagiaan merupakan akibat, dan akibat akan muncul apabila ada
sebab tepat yang mendahuluinya. Sebab yang baik pasti akan
menimbulkan akibat yang baik; sebaliknya sebab yang buruk akan
menimbulkan akibat yang buruk pula. Proses sebab akibat ini akan
berlangsung selama kondisi-kondisi penunjangnya terpenuhi; mereka
berproses secara alamiah. Pengertian yang benar mengenai proses
inilah yang menyebabkan saya secara sukarela berusaha melakukan
kebaikan tanpa tergiur oleh janji/iming-iming surga dan secara
sukarela pula
berusaha tidak melakukan kejahatan, tanpa diliputi rasa takut akan
ancaman neraka. Semoga uraian kenyataan di atas dapat meredakan
kesalahpahaman antar penganut religius. [Slamet Rodjali] [Buletin
Dharma Manggala Mei 2007]



TWO STORIES ABOUT THE BUDDHA STATUE
- A Zen Buddhism Koan
NOTE: These two Zen Koans have won big favours among Westerners who
come to accept Buddhism as part of their spirituality. Together with
the riddle "if you see the Buddha, kill him", they are frequently
used by Western followers to promote Buddhism as an idealistic,
rather than idol worshiping, religion.

STORY I: Dismantling the Buddha Statue
On a very cold chilly winter night, a poor unemployed man dropped
into a Buddhist Temple and kneeled in front of the Main Buddha
Statue. After saying a prayer to the Buddha, he bursted into tears
and started to cry. The Monk-in-charge of the Temple, Dharma Master
Wing Xi (literally, Glorious West) approached him and asked what
happened.
"Your venerable," replied the poor man, "My wife and kids have been
hungry for several days. I have tried my best to support them, but I
could not find work anywhere in town. Now because of the weather, I
am suffering from severe arthritis and other diseases. I think my
family would not last any longer. That's why I come here to pray to
the Buddha and ask him to alleviate my sufferings."
Master Wing Xi pondered, "as Buddhist monks, we do not have any
money. How can we help him in such an emergency?" As he looked at the
gold-plated Buddha Statue in the main hall, suddenly, he had an idea.
He ordered his students to remove the arm from the Buddha Statue,
peel the gold off the arm and gave it to the unemployed poor
man. "Sell it to a gold smith and use the proceeds for your
emergency," he told the poor man.
All the other monks were shocked at his decision and protested, "How
can you break the arm of the Buddha Statue and give it away?"
Master Wing Xi said calmly, "You guys do not understand the Dharma. I
do this to honour the Buddha himself."
The other monks were confused and angry, "You are breaking the Buddha
Statue to pieces. How can this be considered to be an honour to
Buddhism and to the Buddha himself."
Master Wing Xi replied, "I do honour our religion and the founder,
the Buddha himself. Even though I am going to Hell after this, I am
still going to break up the Statue and give it away."
Under the order from the Master, the monks had no choice but started
to chip off the gold plate from the statue, but they surely did not
like doing it. They started to murmur, "We are breaking up the Buddha
Statue to pieces and give it away - and our Master says this is an
honour to Buddhism? What an anti-religion idiot."
Upon hearing this, Master Wing Xi could not stand it any long. He
shouted out loudly, "Don't you guys study the Buddhist Scriptures?
Before he became a Buddha, in his previous lives, Prince Siddhartha
gave himself up to feed a hungry tiger, cut his own flesh to feed an
hungry eagle, donated his own eye to cure someone's eyesight, etc. He
donated everything, including his own body parts for the well being
of other sentient beings. Do you understand his teachings at all?! "


STORY II - Using the Buddha Statue as heating fuel
During the Teng Dynasty, Dharma Master Dan Xia (literally, Red
Twilight) used to be a candidate for the civil service examination.
But he got a "calling" and later became a Buddhist Monk instead.
On a cold winter night, a big snow storm hit the city and the temple
where Dan Xia served as a Monk got snowed in. Cut off from outside
traffic, the coal delivery man could not get to the Zen Monastery.
Soon it ran out of heating fuel after a few days and everybody was
shivering in the cold. The monks could not even cook their meals.
Dan Xia began to remove the wooden Buddha Statues from the display
and put them into the fireplace.
"What are you doing?" the monks were shocked to see that the holy
Buddha Statues were being burnt inside the fire place. "You are
burning our holy religious artifacts! You are insulting the Buddha!"
"Are these statues alive and do they have any Buddha nature?" asked
Master Dan Xia.
"Of course not," replied the monks. "They are made of wood. They
cannot have Buddha Nature."
"OK. Then they are just pieces of firewood and therefore can be used
as heating fuel," said Master Dan Xia. "Can you pass me another piece
of firewood please? I need some warmth."
The next day, the snow storm had gone and Dan Xia went into town and
brought back some replacement Buddha Statues. After putting them on
the displays, he began to kneel down and burn incense sticks to them.
"Are you worshiping firewood?" ask the monks who are confused for
what he was doing.
"No. I am treating these statues as holy artifacts and am honouring
the Buddha." replied Dan Xia.


Sepanjang sejarah penyembahan berhala, apa ada penyembah berhala yang
dengan tenang-tenang membakar patung yang dia sembah?
Tidak ada.
Karena itu, Buddhist tidak menyembah berhala, tidak menyembah patung.
Kita tahu kok patung itu dari kayu, benda mati. Tapi kita perlu image
Buddha sebagai contoh bahwa seorang manusia bisa mencapai
kesempurnaan, dapat mencapai pembebasan, dan bisa mengembangkan
kualitas-kualitas baik.

Tidak ada komentar: